KONTRIBUSI BLASIUS SUDARSONO DAN PUTU LAXMAN
PENDIT DALAM PERKEMBANGAN PERPUSTAKAAN DI INDONESIA
Mahasiswa
Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga Jogjakarta
ABSTRAK
Perkembangan perpustakaan di Indonesia tidak
terlepas dari ide-ide dan kontribusi dari para tokoh. Berbicara tokoh dalam bidang
ilmu perpustakaan muncul berbagai tokoh yang kontibusi pemikirannya sangat likat
mewarnai
perkembangan ilmu perpustakaan. Sebut saja tokoh-tokoh Blasius Sudarsono,
Putu Lexman Pendit dan tokoh-tokoh yang
lain yang mampu menyemarakkan perkembangan dunia ilmu perpustakaan. Bahkan
tokoh-tokoh tersebut menjadi semakin dikenal didunia akademis manakala karya
dan pemikirannya dijadikan refrensi dalam penulisan karya ilmiah. Tulisan
berikut ini akan menguraikan peranan dan kontribusi dua tokoh perpustakaan yang
tidak asing bagi pustakawan yaitu Blasius Sudarsono dan Putu Lexman Pendit. Kedua tokoh tersebut
mempunyai keunikan yang menjadikan
filsafat humanis dan filsafat ilmu sebagai pendekatan.
Pak Dar (nama akrab Blasius Sudarsono) adalah
sosok pustakawan yang cukup lama berkiprah di dunia perpustakaan sudah banyak
melahirkan karya-karya besar antara lain
Sekitar Rancangan Undang-undang Perpustakaan, Pustakawan
Cinta dan Teknologi, Mengapa setelah 60
tahun perpustakaan tidak berkembang?, Mengapa ilmu perpustakaan tidak
berkembang?, Mengapa Harus Beragam?, Mengapa Kita Berhimpun?, Pemikiran Tentang
Pustakawan Bukan Pegawai Negeri Sipil, Refleksi dan Transformasi Kepustakawana.
Dll.
Putu Laxman Pendit adalah penulis produktif
yang telah menghasilkan beberapa buku antara lain Menjadi Penulis: Membina Jemaat yang Menulis (sebagai penerjemah),
Empat Teori Pers (terjemahan) (1986), Penelitian Ilmu Perpustakaan dan
Informasi, sebuah pengantar diskusi Epistemologi & Metodologi (2003), Mata
Membaca, Kata Bersama (2007), Perpustakaan Digital Dari A sampai Z (2008),
Kesinambungan dan Dinamika Perpustakaan Digital (2008), Merajut Makna :
Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Informasi. Dalam tulisan ini akan ditekankan pada pembahasan mengenai
konsep pendekatan kedua tokoh dalam perkembangan perpustakaan di Indonesia.
Kata kunci : tokoh perpustakaan, kontribusi
Blasius Sudarsono, kontribusi Putu Laxman Pendit
A. PENDAHULUAN
Jauh sebelum buku dikenal
banyak orang, istilah perpustakaan juga belum banyak diketahui orang. Tapi bisa
dipastikan bahwa perkembangan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari sejarah
manusia, karena perpustakaan merupakan produk manusia itu sendiri. Perpustakaan adalah organisme yang tumbuh.
Artinya sebagai lembaga yang tumbuh dan berkembang, perpustakaan membutuhkan
asupan-asupan kegiatan yang mencerminkan bahwa perpustakaan itu hidup.
Pustakawan menjadi tulang punggung dan penopang geraknya perpustakaan. Untuk
itu, pustakawan dituntut untuk membina diri, menambah ilmu pengetahuan dan
keterampilan, serat wawasan kepustakawanan yang lebih luas. Inilah sesungguhnya
yang menjadi tantangan pustakawan yang akan datang.
Berbicara masalah keberadaan
perpustakaan dan pustakawan Indonesia sepertinya tidak akan terlepas dari
seorang tokoh perpustakaan yakni, Blasius Sudarsono dan Putu Laxman Pendit.
Sebagai peneliti dan penulis yang produktif, kiprah Blasius dan Putu sangat dikenal dikalangan para pustakawan yang haus dengan isu dan
hal-hal fundamental tentang kepustakawanan.
Sebagai
mahasiswa pascasarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga
Jogajakarta , wawasan tentang sejarah dan perkembangan perpustakaan di
Indonesia sangat diperlukan dan dibutuhkan. Berangkat dari hal tersebut
penulis sangat tertarik untuk mengetahui
lebih jauh tentang biografi dan kontribusi dua tokoh perpustakaan diatas. Dan
yang membuat dua tokoh tersebut unik dan menarik adalah perbedaan pendekatan
yang mereka gunakan. Misalnya pak dar menggunakan pendekatan filsafat humanis,
sedangkan pak putu menggunakan pendekatan ilmu. Tapi keduanya mempunyai tujuan
yang sama untuk memajukan dunia kepustakawan.
B. KONTRIBUSI BLASIUS SUDARSONO
Blasius Sudarsono bukanlah sosok asing
dalam dunia kepustakawanan Indonesia. Sebagai seorang Pustakawan Utama LIPI
yang telah bekerja hampir 40 tahun, beliau adalah sosok sepuh yang diteladani, digugu dan ditiru. Di usia senjanya,
beliau masih produktif memberikan ajaran dan renungan tentang hakikat atau filsafat
kepustakawanan. Memang sulit kiranya ketika
pustakawan membicarakan tentang Filsafat
Kepustakawanan tanpa menyebut Bapak yang satu ini.
Patut disayangkan adalah tidak semua Sekolah
Perpustakaan di Indonesia memiliki kurikulum
filsafat kepustakawanan kecuali Pascasarjana
Ilmu Informasi dan Perpustakaan, Universitas Padjajaran, Bandung.
Pak Dar mengembangkan Filsafat Kepustakawanan berdasarkan pandangan Driyarkara, seorang
filsuf dan perintis pendidikan filsafat di Indonesia.
Pak Dar,
(lahir di Solo, Jawa Tengah, 02 Februari 1948; umur 64
tahun) tumbuh di lingkungan pendidik karena orangtuanya adalah guru sekolah
dasar. Pak Dar kecil gemar mengutak-atik barang elektronika. Bahkan pelajaran
ilmu pengetahuan alam untuk anak SMP sudah ia pelajari sewaktu kelas lima SD.
Tidak heran apabila ia terobsesi menjadi seorang ilmuwan. Ketika lulus SMA, ia
ingin belajar elektro arus lemah. Tapi karena orangtuanya menginginkannya
menjadi arsitek, dicobalah mendaftar di jurusan elektro dan arsitektur ITB.
Hanya diterima di jurusan elektro, ia tidak memanfaatkannya. Orangtuanya
kemudian ingin memasukkannya ke sekolah elektronika milik Angkatan Laut. Tapi
lantaran tak ingin menjadi tentara, tawaran inipun ditampiknya. Akhirnya kuliah di jurusan
fisika murni UGM menjadi pilihannya hingga tingkat sarjana muda. Karena terlalu
lama menunggu dibukanya program sarjana penuh, Pak Dar memilih bekerja di
perpustakaan LIPI.
Mengawali karir sebagai staf urusan
servis teknis, memberi keuntungan bagi Pak Dar karena menjadi orang yang
pertama bersentuhan dengan teknologi maju dan mahal pada saat itu; komputer.
Semua hal mengenai komputer dipelajari secara otodidak. Begitu juga dengan
kepustakawanan yang ia pelajari dengan cara “mendengar”. Berkat ketekunannya,
dalam waktu lima tahun, datang tawaran untuk melanjutkan pendidikan
pascasarjana ilmu perpustakaan di Amerika dengan skema beasiswa. Sepulang dari
pendidikan, Pak Dar mendapat jabatan baru menjadi Kepala Urusan Servis Teknis dan
menjadi pengajar di program sarjana dan pascasarjana Ilmu Perpustakaan
Universitas Indonesia.
PDII-LIPI menyelenggarakan Kuliah Umum
Bersama Blasius Sudarsono sejak Juli 2011 dengan tema-tema fundamental yang
beragam dan bisa diikuti secara gratis oleh para pustakawan maupun pemerhati
kepustakawanan.
Pendidikan
1.
Sarjana Muda Fisika (BSc), FIPA – UGM, Yogyakarta, 1973
2.
Master of Library Studies (MLS), University of Hawaii,
Honolulu, USA, 1978-1979
Pengalaman
Kerja
1.
Asisten Laboratorium Fisika Dasar UGM, 1970-1973
2.
Staf Urusan Servis Teknis PDIN, 1973-1976
3.
Kepala Urusan Servis Pembaca PDIN, 1976-1977
4.
Kepala Urusan Servis Teknis PDIN, 1979-1980
5.
Kepala Pusat Perpustakaan PDIN, 1980-1987
6.
Kepala Bidang Sarana Teknis PDII-LIPI, 1987-1990
7.
Kepala PDII-LIPI, 1990-2001
8.
Pustakawan Madya PDII-LIPI, 2001-2005
9.
Pustakawan Utama PDII-LIPI, 2005-sekarang
Buku
- Sekitar Rancangan Undang-undang Perpustakaan
- Pustakawan, Cinta dan Teknologi. Jakarta:
Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakan dan Informasi Indonesia, 2009
- Mengapa setelah 60 tahun perpustakaan tidak
berkembang?
- Mengapa ilmu perpustakaan tidak berkembang?
- Mengapa
Harus Beragam?
- Mengapa
Kita Berhimpun?
- Pokok
Pemikiran Tentang Naskah Kuna
- Pendekatan
Dalam Pencarian Dan Pendokumentasian Inovasi Masyarakat
- Penerapan
Teknologi Informasi dan Dokumentasi di Bidang Dokumentasi Hukum
- Pemberdayaan
Perpustakaan Di Lingkungan Mahkamah Agung RI, Pengadilan Tingkat Banding,
dan Pengadilan Tingkat Pertama”
- Strategi
Pengembangan Pustakawan Utama dan Madya
- Strategi
Pengembangan JFP
- Menuju
Penyempurnaan Jabatan Fungsional Pustakawan
- Keberinformasian:
sebuah Pemahaman Awal
- Konsep
Keberinformasian di Sekolah
- Pengembangan
Fasilitas dan Layanan untuk Menunjang Perpustakaan sebagai Sumber Belajar”
- Perpustakaan
Dua Titik Nol : Pengantar Pada Konsep Library 2.0
- Pemikiran
Tentang Pustakawan Bukan Pegawai Negeri Sipil
- Refleksi
dan Transformasi Kepustakawanan
- Pendidikan
Profesional Pustakawan dan Kebutuhan Masa Depan Perpustakaan Di Indonesia
- Sekitar
Rancangan Undang-undang Perpustakaan
- Bangkit
Bersama dengan Budaya Baca
- Hadiah
Valentine Day
- Catatan
atas Buku Pengelolaan Perpustakaan
- Perpustakaan
Untuk Rakyat: Dialog Anak dan Bapak. Jakarta: Sagung Seto, 2012
- Memaknai
Dokumentasi: Pidato Kepustakawanan. Jakarta: PDII-LIPI
- Berkaca
Sebelum Ke Luar Rumah: Refleksi Diri Pustakawan
- Antologi
Kepustakaan Indonesia.
Pemikiran :
Menurut Pak
Dar, ada 4 pilar kepustakawanan yang harus dimiliki seorang Pustakawan, yaitu:
1.
Pustakawan harus menjadi pangggilan hidup
2.
Pustakawan adalah semangat hidup (spirit of life)
3.
Pustakawan adalah karya pelayanan
4.
Dilaksanakan dengan profesional, kemauan dan kemampuan
selalu beriringan.
Kepustakawanan lebih dekat dengan
kemampuan, memahami yang kemauan dari pada kemampuan. Ada lima sila
kepustakawanan atau kemampuan pustakawan yang harus dimiliki seorang
Pustakawan, yaitu :
1. Pustakwaan harus diajak untuk mampu berfikir
kritis, baik dalam pengembangan teknologi maupun pengembangan informasi dan
kritis terhadap kebutuhan masyarakat pengguna.
2. Membaca.
membaca sangat penting bagi pustakawan untuk mengetahui informasi-informasi
maupun isu-isu yang berkembang terutama tentang perpustakaan untuk menambah
pengetahuan. Membaca dalam hal ini diartikan membaca dunia.
3. Menulis,
dalam arti mengenai ide, gagasaan atau pemikiran, kreatifitas, serta inovasi
sehingga membuahkan tulisan yang mengandung informasi dan pengetahuan yang
dapat ditularkan kepada masyarakat lain yang membutuhkan.
4. Kemampuan
entrepreneur untuk dihargai. Perpustakaan adalah akumulasi dari recorder
culture atau knowledge (pengembangan kebudayaan), dan tidak hanya dinilai
sebatas segi finansialnya saja.
5. Etika.
Pustakawan yang baik seharusnya memiliki etika, moral, dan tingkah laku yang
baik pula, sehingga dalam berkomunikasi mampu melayani pengguna dengan
baik.
C. KONTRIBUSI
PUTU LAXMAN PENDIT
Nama lengkap beliau adalah Putu Laxman Sanjaya Pendit,
(lahir di Jakarta, 03 September 1959; umur 52
tahun) berasal dari keluarga yang akrab dengan dua hal: menulis dan
perpustakaan. Ayahnya, Nyoman S. Pendit, adalah penulis produktif yang telah
menghasilkan beberapa buku antara lain Mahabharata, Ramayana, menerjemahkan
Bhagavadgita serta buku-buku yang berkaitan dengan pariwisata, Bali, Hindu dan
lainnya. Sedang sang Ibu, Murtini S. Pendit, adalah
pengelola Perpustakaan
Idayu pada masa pemerintahan Bung Karno.
Setelah pensiun dari Lembaga Demografi FEUI, Ibu Murtini tetap aktif di dunia
kepustakawanan hingga sekarang lewat beberapa milis pemerhati kepustakawanan.
Menikah dengan Meily Zulia dan dikaruniai dua orang putri; Shasha Kanitrisutra
dan Raudry Bungadyarti.
Pak Putu, begitu panggilan akrab para mahasiswanya,
adalah seorang penulis, peneliti, pendidik dan pengajar bidang Ilmu
Perpustakaan dan Informasi. Kiprahnya sangat dikenal dikalangan para pustakawan
yang haus dengan isu dan hal-hal fundamental tentang kepustakawanan.
Gagasan-gagasan segarnya (baca: provokatif) selalu muncul dan menjadi topik
diskusi yang hangat di milis the_ics, sebuah
milis pemerhati kepustakawanan. Tidak jarang (baca: sering) opini bersifat
kritik bahkan sinis ia sampaikan di milis. Bisa jadi hal itu mengagetkan bagi
sebagian orang yang belum mengenalnya. Sejatinya, ia adalah pemikir dan pendidik
yang mengajak kembali untuk merenungi hakikat kepustakawanan itu sendiri.
Suatu area pinggiran dari disiplin kepustakawanan yang sepi
dan tidak menarik bagi banyak orang tetapi sebetulnya sangat penting. Tidak
banyak orang seperti beliau, untuk menyebut diantaranya adalah Blasius Sudarsono.
Sejak menjalani pendidikan di RMIT Australia, ia
melakukan kegiatan penelitian dan konsultasi di bawah bimbingan Prof. Bill
Martin, termasuk mengajar dan membantu pengembangan sistem pengajaran online
bersama Dr. Joan Richardson. Selama pendidikan itu pula, secara teratur
berkunjung ke Indonesia untuk mengajar dan meneliti. Hasil penelitian dan
pengalaman di Australia dikonsentrasikan untuk membantu pengembangan perpustakaan
dijital di Indonesia, baik di kalangan
pemerintah maupun swasta.
Setelah lulus dari RMIT, ia memilih menjadi konsultan
independen untuk berbagai instansi, termasuk Bank Indonesia, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Gramedia-Majalah, dan
mengajar di berbagai universitas, termasuk Universitas Padjadjaran, Universitas
Airlangga, dan UIN Sunan Kalijaga. Saat ini Pak Putu berdomisili di Australia,
menjadi pengajar dan peneliti di Royal
Melbourne Information Technology (RMIT). Beliau juga
aktif menjadi pembicara di berbagai seminar yang berkaitan dengan
kepustakawanan.
Pendidikan
1.
Sarjana dari Sekolah
Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial & Ilmu Politik) (1986)
2.
Master dalam Information
Science dari Loughborough University of Technology, Inggris Raya (1988)
3.
Ph.D dari School of
Business Information, RMIT University, Melbourne Australia (1997-2000) dengan
disertasi berjudul “The use of Information Technology in Public Information
Services: an interpretive study of structural change via technology in the
Indonesian Civil Service”
Pengalaman
Kerja
1.
Asisten dosen matakuliah
komunikasi, media, dan jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (1982)
2.
Editor bidang teknologi
dan luar negeri untuk Majalah Berita X-tra milik Femina Group (1985 – 1987)
3.
Pengajar di Jurusan Ilmu
Perpustakaan, Fakultas Sastra (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya) Universitas Indonesia (1988-2004)
Karya Tulis
Penelitian
1.
Penerapan teknologi
hipertext untuk sistem informasi arkeologi.
Buku
1.
Menjadi Penulis: Membina
Jemaat yang Menulis (sebagai penerjemah)
2.
Empat Teori Pers
(terjemahan) (1986)
3.
Penelitian Ilmu
Perpustakaan dan Informasi, sebuah pengantar diskusi Epistemologi &
Metodologi (2003)
4.
Mata Membaca, Kata
Bersama (2007)
5.
Perpustakaan Digital
Dari A sampai Z (2008)
6.
Kesinambungan dan
Dinamika Perpustakaan Digital (2008)
7.
Merajut Makna :
Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Informasi (2009).
Pemikiran Putu Laxman Pendit, melalui beberapa
tulisan/artikel khususnya mengenai perpustakaan sekolah.
1. Kepustakawanan Sekolah (School
Librarianship) adalah keseluruhan pandangan kita sebagai bangsa, orientasi
kita, sikap kita, tindakan kita, dan prasarana yang kita kembangkan untuk
mendidik anak-anak bangsa menapaki peradaban baca-tulis alias literasi. Dalam
artian ini, maka Kepustakawanan Sekolah tak ubahnya pendidikan itu sendiri.
Seperti apa kondisi pendidikan di sebuah negeri, seperti itulah kondisi
Kepustakawanan Sekolahnya; seperti apa sikap dan orientasi kita dalam literasi,
seperti itulah kondisi Kepustakawanan Sekolahnya. Inilah pula yang menyebabkan
urusan kepustakawanan bukan semata-mata “urusan teknis”.
2. Negara berpenduduk ratusan juta ini memerlukan
ratusan ribu sekolah dan jutaan guru. Tetapi berapa jumlah
pustakawannya? Ini adalah persoalan kuantitas yang segera diikuti oleh
persoalan kualitas. Dengan berbagai alasan kita juga dapat menduga, sosok guru
lebih diperhatikan daripada sosok pustakawan.
3. Beberapa negara yang mengakui sepenuhnya peran
bacaan dalam pendidikan dasar telah sejak lama membentuk profesi Guru
Pustakawan (Teacher Librarian). Sebuah negara bahkan mensyaratkan
profesi ini berbasis pendidikan strata 2 (master) dari dua ilmu : pedagogi dan
perpustakaan. Walau mungkin agak mustahil diterapkan di Indonesia, mari kita
periksa konteks masyarakat yang melahirkan “mahluk” bergelar ganda ini.
4. Anak-anak, khususnya di usia sekolah,
seringkali adalah pihak pertama yang menjadi pengguna-tetap teknologi baru di
bidang informasi. Secara bercanda tetapi serius kita mengatakan bahwa istilah
‘telepon genggam’ datang dari kenyataan bahwa anak-anak di masa kini lahir
dengan menggenggam telepon. Mereka terlahir sebagai digital native; penduduk
asli dunia digital - sebuah dunia di mana kita (orang tua dan
kakak-kakaknya) adalah para pendatang.
Kritisi Pendit terhadap perkembangan perpustakaan di Indonesia :
1. Pendit mempertanyakan tekanan untuk mengubah
budaya Indonesia dari masayarakat “lisan” menjadi masyarakat “tulis”, dengan
menyatakan bahwa kami membutuhkan keduanya. Saya (pendit) juga mempertanyakan
apakah minat baca di Indonesia sangat kurang, atau ini memang disebabkan oleh
kurangnya materi baca yang terjangkau dan menarik.
2. Pendit mengkritik bahwa ide kaum intelektual
dan masyarakat tertentu mengetahui apa yang ingin dibaca masyarakat miskin,
contohnya dengan menceritakan dongeng pada masyarakat miskin sama saja
menyembunyikan kebenaran dari mereka.
D.
Dampak Pemikiran :
a. Pak Dar terus mendorong generasi baru untuk
mau meneliti, menganalisis dan mengevaluasi sekaligus menuliskan ide mereka.
Dan itu, masih dilengkapi dengan usaha yang penuh dedikasi : membentuk Kelompok
Studi Kepustakawanan Indonesia (Kappa Sigma Kappa Indonesia), Bersaudara
Menumbuh-kembangkan Kepustakawanan Indonesia. Dan juga seperti bergabungnya
tiga lembaga pelestari warisan bangsa: perpustakaan, arsip dan museum dalam Lembaga
Negara. merupakan pemikiran yang sangat menarik. Lalu rumusan visi Perpustakaan
Nasional. yang sarat dobrakan.
b. Banyak sekali sekolah yang mulai berbenah baik
mengenai manajemen, SDM dan sarana-prasarana, yang tidak kalah penting adalah
substansi perpustakaan sekolah, terasa keberadaanya dan memberikan manfaat bagi
masyarakat (siswa).
E. SIMPULAN
Blasius dan
Putu merupakan penulis yang produktif,
berdedikasi tinggi demi kemajuan dunia kepustakawanan khususnya di Indonesia.
Selalu memperhatikan kehidupan pustakawan yang disampaikan dengan
karya-karyanya yang sudah ditulis. Bahkan entah berapa banyak
pemikiran-pemikiran mereka yang belum ditulis.
Tulisan Blasius
ada dua gaya bahasa, normal atau mudah dimengerti orang awam. Yang kedua
tulisan dengan gaya bahasa yang unik, untuk dapat memahami tulisan karya
beliau, sebenarnya orang harus mengenalnya cukup lama karena tulisan karyanya
seringkali merupakan sebuah pandangan yang sangat dalam dan bahkan seringkali
juga beyond imagination, pemikiran yang jauh berbicara tetang sebuah
fenomena yang belum terpikirkan atau terbayangkan orang pada umumnya pada saat
pemikirannya ditulis. Sifat inilah yang seringkali membuat orang menyebutnya ”nyeleneh
(di luar kebiasaan)”, bicara hal yang oleh kebanyakan pustakawan dianggap tidak
lazim, ditambah lagi kesukaan penulis pada filsafat membuat bahasan yang
dibuatnya selalu memiliki pandangan yang mendalam. Beliau sekarang berusia
sekitar 66 tahun dan masih tetap terus berkarya untuk memajukan dunia
kepustakawanan.
Gagasan-gagasan provokatif Putu selalu muncul dan menjadi topik
diskusi yang hangat di milis the_ics, sebuah milis pemerhati
kepustakawanan. Putu sering membuat opini bersifat kritik bahkan sinis
ia sampaikan di milis. Bisa jadi hal itu mengagetkan bagi sebagian orang yang
belum mengenalnya. Sejatinya, ia adalah pemikir dan pendidik yang mengajak
kembali untuk merenungi hakikat kepustakawanan itu sendiri. Suatu area pinggiran
dari disiplin kepustakawanan yang sepi dan tidak menarik bagi banyak orang tetapi sebetulnya sangat penting.
Setelah membaca
biografi dari dua tokoh diatas, penulis menyimpulkan bahwa Blasius Sudarsono dan Putu Laxman Pendit
mempunyai pandangan yang berbeda mengenai dunia kepustakawanan. Blasius, menggunakan pendekatan filsafat humanis sedangkan Putu,
menggunakan pendekatan filsafat ilmu. Tapi keduanya mempunyai tujuan yang sama
untuk memajukan dunia kepustakawan dan saling melengkapi. Pada dasarnya
pak dar dan pak putu berupaya membantu
dan mengembangkan pemahaman serta kerja sama dalam pengembangan perpustakaan.
Karena tidak ada pustakawan yang mampu
meng- cover semua kebutuhan pemustaka seorang diri. Hal ini menjadi
pekerjaan rumah bagi pustakawan untuk bisa bekerja sama dengan perpustakaan
yang satu melengkapi perpustakaan yang lain tanpa membedakan jenis perpustakaan
yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Prakoso, Bambang” Tugas Manajemen Perpustakaan
dan pusat Informasi“Biografi Tokoh.”
Profil Putu laxman pendit. “Profil Putu Laxman
Pendit.”
Tian Haklev, “Mencerdaskan bangsa-suatu
pertanyaan fenomena taman bacaan di Indonesia.”Program Advanced
Seminar International Development Studies. International Development Studies
Uniersity Of Toronto At Scarborough. Tahun 2008
Wiji Suwarno,”Dasar-dasar ilmu perpustakaan
sebuah pendekatan praktis.” (Jogjakarta:ArRuzz media,2007)
Wiji Suwarno, “Ilmu perpustakaan &kode
etik pustakawan.”,(Jogjakarta:ArRuzz media,2010)